Penelitian terbaru berhasil menemukan "sensor rasa sakit" sebagai respon pada otak ketika kita menginjak paku payung atau pada saat tulang sikut terbentur benda.
Peneliti melakukan scan pencitraan otak orang yang mengalami rasa sakit akibat waxing dan mereda selama beberapa jam. Mereka mengidentifikasikan sebuah bagian dari otak bernama dorsal posterior insula, yang menjadi aktif saat seseorang merespons rasa sakit yang dialami.
"Kami telah mengidentifikasi area pada otak yang bertanggung jawab atas inti 'sakit' dari pengalaman rasa sakit," terang pemimpin penelitian sekaligus profesor ilmu anestetik di University of Oxford, Inggris, Irene Tracey.
Temuan ini kelak bisa membantu dokter mendeteksi sakit pada orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik, seperti anak kecil, orang yang sedang koma, atau demensia. Penelitian ini sudah dipublikasikan pada 9 Maret dalam jurnal Nature Neuroscience.
Dalam studi tersebut, Tracey dan rekan-rekannya mengoles krim mengandung zat kimia capsaicin, bahan dalam cabai yang menyebabkan sensasi terbakar, di 17 kaki relawan yang sehat. Peneliti kemudian meletakkan botol air panas atau air dingin di atas kulitnya untuk menambah atau mengurangi rasa sakit masing-masing.
Sementara itu, mereka memindai otak para peserta penelitian dan menanyakan seberapa banyak rasa sakit yang mereka rasakan. Mereka menemukan bahwa dorsal posterior insula lebih bersinar di pemindaian otak ketika partisipan melaporkan rasa sakit yang amat sangat, menyimpulkan bahwa bagian ini merupakan tolok ukur rasa sakit di otak.
Selanjutnya, tim berencana untuk menguji apakah mungkin untuk "mematikan" area otak tersebut pada orang yang menderita sakit keras, khususnya yang sudah mengalami kegagalan dalam pengobatan. (Kompas)